SELAMAT MALAM

Ini adalah blog untuk kumpulan catatan-catatan saya. Tanggal yang tertera di atas teks bukanlah tanggal di mana catatan itu ditulis atau dipublikasikan, tetapi itu adalah waktu saya meng upload catatan tersebut. Banyak catatan yang sudah lama yang baru saya upload dalam blog yang sempat terbengkalai ini. Sebisa mungkin akan saya terakan tanggal dan dimana catatan tersebut dipublikasikan, semampu file saya menyediakan datanya.

Rain Rosidi

Wednesday, May 09, 2012

JOGJA AGROPOP

Sebuah Projek Seni
Projek pameran seni rupa ini melihat kembali sebuah lintasan sejarah yang membentuk salah satu kecenderungan seni rupa dewasa ini. Pada era pertengahan 80-an, di Yogyakarta terdapat dua seniman muda yang cukup kuat memberikan warna baru dalam perkembangan seni. Kedua orang itu adalah dua mahasiswa seni lukis pada waktu itu, yaitu Heri Dono dan Eddie Hara. Heri Dono sangat dikenal sekarang sebagai salah seorang seniman kontemporer dari Indonesia yang berkiprah di ranah seni internasional melalui forum-forum penting dunia, seperti biennal, triennal, dan sebagainya. Sementara Eddie Hara tidak terlalu menonjol dalam pembahasan mengenai seni kontemporer di Indonesia, selain karena dia tidak banyak berada di Indonesia, juga karena beberapa kesalahpahaman dalam memahami arah karya seniman ini.
Pameran ini melihat Eddie Hara sebagai adalah satu titik awal untuk melihat kecenderungan yang hadir sekarang dan beberapa simpul aksi dan karya dari seniman sesudahnya yang dapat menjelaskan kecenderungan itu, yang pada pameran ini disebut sebagai Jogja Agro Pop. Gejala ini dapat dilihat mulai dari karya-karya Eddie Hara di pertengahan 1980-an, Core Comic di tahun 1995, Apotik Komik Mural Projek SAMA SAMA di tahun 2002, dan karya-karya projek personal pasca Apotik Komik. Beberapa projek lain yang dilihat pula sebagai gejala yang sama antara lain ruang, manajemen atau outlet seni alternatif (Mes 56, Parkir Space, Daging Tumbuh, Yes No Wave, Mulyakarya, Cangkang Serigala, dsb).
‘Jogja Agro Pop’ pada mulanya digunakan untuk menyebut sebuah komunitas yang belum terindentikasi dengan baik. Komunitas ini tidak dapat disebut sebagai sebuah kelompok yang lazim ditemui dalam dunia seni rupa, misalnya dengan batasan dan manifesto yang jelas. Mereka hadir dengan berbagai macam tuduhan yang dialamatkan untuk memudahkan pemetaan dalam dunia seni, seperti ‘lowbrow, ‘street art’, ‘pop surealism’. Dalam konteks Indonesia dan terutama Yogyakarta, penyebutan ini menjadi riskan mengingat posisi antara gerakan seni yang terjadi di dunia ‘internasional’ dan yang terjadi di Indonesia menjadi hierarkis dan semena-mena. Realitas yang terjadi di komunitas seni itu sendiri tidak berwajah tunggal, penuh dengan kompleksitas dan kontradiksi. Istilah ini bukan untuk melabeli para seniman itu dalam sebuah nama kelompok, akan tetapi hanya sebagai penanda atas sebuah gejala yang tak pernah dijelaskan, karena gejala ini walau mempunyai ketersambungan tetapi juga sangat beragam. Batasan komunitas yang dipakai adalah dalam pengertian kesamaan sumber acuan dan relasi yang terbangun di antara mereka.
Salah satu proses indentifikasi yang ditawarkan dalam pameran ini adalah pemoposisian komunitas ini dalam ranah seni rupa dan masyarakat kontemporer. Dalam wilayah seni, pemoposisian ini mempertimbangkan interkonektifitas antar even dan isu-isu, untuk tidak terjebak pada pemetaan yang sifatnya hirarkis ‘dari atas’. Posisi komunitas ini dilihat dengan mempertimbangkan jaringan dan relasi-relasi yang terjadi dalam komunitas itu sendiri maupun dengan berbagai macam media dan jaringan sosial atau seni.
Dalam persoalan produk karya yang dihasilkan oleh komunitas ini, pameran ini juga menjadi paparan refleksif yang dilakukan oleh komunitas ini dalam posisi mereka di dunia seni rupa dan masyarakat. Beberapa hasil karya dalam kelompok ini diterima dengan sangat baik dalam pasar seni rupa. Hasil karya mereka bukan hanya masuk dalam pasar primer tetapi juga pasar sekunder. Kecenderungan itu juga masuk dalam wilayah dunia ‘wacana seni’ yang berkiblat pada acara seperti biennal dan trinennal. Penyerapan ini tidak diimbangi dengan mediasi pernyataan dan identifikasi sikap dari komunitas ini sendiri. Pada akhirnya pembacaan mengenai komunitas ini tidak menjangkau semangat awal yang tumbuh dari realitas penciptaan karya-karya itu. Dalam pameran ini, refleksi dilakukan untuk menghadirkan semangat komunitas itu dengan berbagai perspektif. Aspek pasar seni rupa bukan menjadi pertimbangan utama mengingat produksi-konsumsi-dan distribusi dalam komunitas ini juga bagian dari pandangan unik mereka terhadap realitas seni maupun masyarakatnya.
Pameran ini melihat dua hal sekaligus, sebagai agensi : yaitu karya seni dan subjek pelaku (komunitas). Dari kedua hal itu, persoalan yang bisa dijadikan ‘clue’ adalah budaya yang mereka konsumsi. Dalam hal ini, dapat digali sumber acuan, keterhubungan mereka dengan media, produk seni yang lain, dan sekaligus realitas yang mereka hadapi di Yogyakarta.
Penjelasan atas hadirnya gejala ini akan dilihat melalui beberapa aspek. Aspek penting adalah pencarian jalan alternatif dalam seni rupa, upaya membangun jaringan, dan praktik produksi, distribusi, konsumsinya. Hal tersebut sudah jamak dilakukan oleh para seniman, akan tetapi pada gejala ini para seniman itu mencari sumber-sumber acuan yang berbeda, yang secara radikal mempertemukan antara youth culture dan seni rupa dalam satu arena, di antaranya adalah melalui musik rock, komik, dan public art. Di samping itu mereka juga membangun relasi dalam ruang-ruang bersama di kota Yogyakarta yang melahirkan bentuk-bentuk kerja kreatif dan ruang-ruang alternatif. Perbedaan lain adalah pada arah apresiasi yang mereka tuju. Seni rupa kontemporer mengarahkan apresiasi utama dalam lingkaran seni rupa yang ekslusif, termasuk galeri, acara-acara pameran penting, dan museum seni. Pada komunitas ini, seni rupa juga diarahkan pada bentuk-bentuk apresiasi yang lebih populis dan jaringan komunitas tertentu sebagai konsumen maupun apresiannya, temasuk bagaimana mereka merambah pada praktik seni publik dan gerakan alternatif. Tidak jarang beberapa di antara mereka membangun jejaring yang tidak lazim dalam seni rupa kontemporer, seperti dengan para musisi underground, jejaring seni mainan, dan bentuk-bentuk disain komunitas anak muda yang mempunyai minat sama. Pameran ini sekaligus menguji bagaimana gejala seni ini berkembang dan menjadi bagian dari seni rupa kontemporer di Indonesia.
Penelitian sebuah gejala dalam seni rupa dengan melihat aspek-aspeknya yang mendasar termasuk sangat jarang dilakukan. Kebanyakan penelitian fokus pada medan sosial seni atau aspek kesejarahannya. Dengan hal tersebut, di Yogyakarta untuk jangka waktu yang cukup lama tidak muncul tawaran pemikiran dan pandangan baru atas gejala seni yang berlangsung. Salah satu yang sebenarnya cukup menantang adalah disertasi mengenai “Surealisme Jogja” yang diajukan oleh Dwi Marianto. Surealisme Jogja sebagai istilah juga pernah disebut oleh Sanento Yuliman dalam sebuah tulisannya. Marianto memberikan suatu pandangan mengenai sebuah gejala yang muncul di seni rupa Yogyakarta, yang sayangnya tawaran itu tidak menjadi diskusi di kalangan seni, dan tidak dilanjutkan dalam pembacaan-pembacaan gejala lain yang banyak terjadi di Indonesia, terutama di Yogyakarta.
Munculnya sebuah gerakan atau pembaharuan dalam seni rupa di Indonesia terjadi terkait dengan persoalan kebuntuan yang dianggap terjadi pada masanya. Dalam konteks Gerakan Seni Rupa Baru (1975) Jim Supangkat menyebutkan bahwa gerakan itu kemudian juga memunculkan pertanyaan mengenai batasan seni dan pengetahuan dasar seni rupa Indonesia (Supangkat: 1993). Para seniman muda yang menganggap seni rupa mandek, melakukan pemberontakan dalam seni dengan membawa acuan-acuan baru. Supangkat menengarai gerakan itu muncul melalui dinamika yang terjadi di kampus-kampus seni. Gerakan Seni Rupa Baru yang sebelumnya disebut sebagai gerombolan itu didasari pada pemberontakan para mahasiswa seni di Yogyakarta dan Bandung yang berselisih dengan para dosennya, terutama yang terjadi di Yogyakarta. Perselisihan itu mirip dengan praktik politik, di mana terjadi pemecatan terhadap beberapa mahasiswa, pasca sebuah peristiwa yang disebut sebagai “Desember Hitam”. Dampak dari gerakan yang tidak berumur panjang itu (GSRB selesai pada tahun 1997) dapat dirasakan hingga sekarang, di mana pendobrakan dinding-dinding seni lukis, patung, dan grafis melahirkan bentuk-bentuk seni yang lain yang kemudian dikenal sebagai seni kontemporer.
Pameran di Taman Budaya pada bulan April 2012 ini menjadi kesempatan yang baik untuk melakukan upaya sejenis dalam meneliti gejala yang terjadi di seni rupa kita. Tercatat beberapa pameran-pameran lain yang menandai munculnya gejala seni yang kemudian secara definitif disebut sebagai “Jogja Agro Pop” oleh Nano Warsono dalam buku ini, dan saya gunakan sebagai judul kuratorialnya. Perihal penyebutan nama Jogja Agro Pop sebagai penanda gejala ini juga tidak tanpa masalah. Pameran-pameran itu antara lain:
Proses kurasi pameran ini dilalui dengan melalui serangkaian diskusi panjang dengan para seniman. Diskusi ini justu tidak banyak membicarakan mengenai karya apa yang akan dipamerkan, namun lebih memperbincangkan mengenai hal-hal yang mendasar mengenai gejala seni ini.

KOMIK DAN DUNIA GAMBAR MENGGAMBAR

Beberapa seniman dalam gerombolan ini adalah para ‘penggemar’ komik, baik dalam arti konsumen maupun produsen. Di Indonesia komik sempat menjadi bacaan ‘terlarang’, dianggap sebagai bacaan rendah, merusak dan tidak bermoral. Anggapan itu membuat komik, walaupun menjadi bacaan yang meluas, tetapi selalu muncul dalam industri-industri kecil dan tidak masuk dalam penerbit-penerbit besar. Pada akhir-akhir ini, komik barulah diterbitkan penerbit besar, walaupun kemudian lebih banyak menerbitkan komik dari luar negeri.
Hingga tahun 1980an, komik tidak pernah menjadi bagian yang penting dalam seni rupa kita. Heri Dono dan Eddie Hara yang keduanya adalah mahasiswa seni lukis ISI Yogyakarta tahun 1980an mulai menggunakan gaya visual komik dalam lukisannya. Sebelumnya, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) sudah mulai membuka peluang pada penetrasi seni komik dalam seni rupa modern atau kontemporer. Beberapa seniman dalam GSRB membuat coretan ilustrasi dengan bantuan teks dan gambar. Namun persoalan komik sebagai bahasa visual belum mereka persoalkan secara intensif. Heri Dono dan Eddie Hara menggunakan komik dengan pendekatan yang berbeda. Bagi kedua orang itu, sumber penciptaan seni rupa bisa berasal dari budaya-budaya populer yang dianggap rendah. Heri Dono menggali sumber karyanya dari wayang beber.
Eddie Hara adalah salah satu tokoh seni rupa kita yang tidak banyak disebut dalam wacana seni kontemporer. Terlepas dari tidak tinggalnya perupa ini di Indonesia, persoalan salah mengartikan peran seniman ini mungkin yang membuatnya luput dari amatan sejarah seni kita. Pada masa awal karir melukisnya, Eddie Hara banyak digolongkan sebagai seniman bergenre naif (naive art/painting). Bagi Eddie Hara, pengklasifikasian  itu bermasalah untuk melihat dirinya, karena walaupun dirinya mengakui mengawali gaya melukisnya terinspirasi gaya melukis anak-anak, namun persoalan mendasarnya bukan pada masalah itu. Dalam sebuah wawancara dengan Eddie Hara, pelukis ini mengakui bahwa apa yang dilukisnya pada waktu itu ‘sudah surealisme’ yang simbolik, seperti pada Picasso, dan bahkan dia sudah menggunakan teks-teks tertentu dalam lukisannya. Baru pada akhir 1980-an, Eddie Hara menemukan kecenderungan yang sama pada pelukis-peluksi Pop Surealisme dan Lowbrow di Amerika.
Eddie Hara memulai kesukaannya menggambar melalui komik. Pada masa kuliah, karya-karyanya tidak diterima oleh para dosen dan cenderung dianggap kurang kontemporer. Fantasi dan imajinasi Edie Hara, tentang binatang, alam, hubungan manusia dengan alam, dipengaruhi oleh komik Wiro, yang dibacanya pada waktu SD. Binatang kerapkali muncul dalam karyanya, sebagaimana juga figur-figur fantasi. Dalam konteks melihat Eddie Hara pada situasi seni hari ini, kita dapat melihatnya melalui penggalian acuan yang dilakukannya. Eddie Hara tidak lagi mengacu pada persoalan-persoalan wacana utama dalam seni rupa kita, seperti ‘keindonesiaan’, ‘kerakyatan’, ‘kemanusiaan universal’, dan sebagainya, tetapi dia menggalinya melalui persinggungannya dengan gerakan-gerakan budaya pinggiran termasuk subkultur, seperti gafiti, poster musik rock, gerakan punk, dan sebagainya. Persinggungannya itu tidak hanya sebagai representasi visual, tetapi juga dalam upaya menjadikannya sebagai ekspresi identitasnya.
Pada masa itu seni rupa kontemporer mulai secara perlahan muncul dalam gejala seni rupa kita. Bentuk-bentuk seni yang ditengarai sebagai gejala seni kontemporer mulai muncul, seperti seni instalasi, seni performans, dan media baru. Eddie Hara banyak dicatat dalam perkembangan seni ini melalui karya seni performansnya, sementara karya lukisannya tidak terlalu mendapat perhatian. Pada masa itu seni lukis lebih banyak pada persoalan sosial politik, sementara karya Eddie Hara tidak mempersoalkan itu secara jelas. Masa-masa itu wacana perubahan politik dan sosial mewarnai secara dominan tema-tema karya seni rupa, termasuk pada penggunaan media instalasi dan seni performans yang dirasakan lebih sesuai untuk menyatakan sikap politik.

(Gambar Nur Gora Rupa)
Sampai pada tahun 90-an awal, gerakan pemberontakan dan pembaharuan dalam seni rupa lebih fokus pada persoalan-persoalan dalam medium seni. Upaya membongkar batasan-batasan dalam seni memberikan porsi yang besar pada munculnya tema-tema sosial politik yang relevan dengan situasi pra-reformasi masa itu. Pada tahun 1992, beberapa seniman mensikapi kebijakan Biennal Jogja dengan membuat sebuah acara tandingan yang disebut sebagai “Binal”. Jejak dari Gerakan Rupa Baru yang dapat dilihat pula pada sebuah peristiwa seni yang terjadi di Surakarta, sebuah even yang hanya sekali berlangsung, yaitu Nur Gora Rupa, di tahun 1993. Acara ini diinisiasi oleh Halim HD, sang penggerak festival sekembalinya dari USA. Acara di Taman Budaya Surakarta itu dianggap oleh para pelakunya sebagai momentum untuk mendobrak kebuntuan seni. Pada saat itu, para perupa yang berkarya bersama dengan para seniman pementasan, banyak menggunakan medium yang tidak membatasi diri pada batasan seni rupa modern, seperti patung, lukis, grafis. Weye Haryanto, salah satu peserta acara itu menyebut fenomena pada acara itu sebagai “euphoria instalasi”. Pada masa itu, seni instalasi menjadi media seni yang sesuai untuk menyuarakan komentar sosial. Dadang Christanto dan Bonyong Murnie Ardie tercatat sebagai perupa yang ikut menyertakan karya instalasinya. Acara ini berwatak eksperimental. Beberapa mahasiswa seni yang baru saja masuk ke ISI Yogyakarta terlibat dalam acara ini, di antaranya S Teddy D, Wilman Syahnur, Weye Haryanto, Kokok, Irawan, Andri, Sigit, Hestu, dan sebagainya. S Teddy D di kemudian hari menjadi sangat menonjol dengan karya-karya instalasinya. Karya-karya pada acara itu sangat kental dengan tema kritik sosial dan politik.
Angin yang berbeda mulai berhembus di dalam kampus ISI Yogyakarta. Pada tahun 1994, Athonk seorang aktivis di Malioboro dan mahasiswa seni rupa ISI yang juga seniman tatto menerbitkan sebuah komik fotokopian bernama “Pure Black” dalam bahasa Inggris, dan dijual sampai ke luar negeri melalui jaringan underground. Komik ini banyak mengutip lirik-lirik dari musisi rock, dan mengambil alur berkisah yang sureal.
Dari kampus ISI Yogyakarta muncul komik yang kemudian disebut komik indie: Core Comic (1995). Projek alternatif itu diinisasi oleh gabungan mahasiswa seni rupa dari jurusan disain maupun seni murni termasuk Pius Sigit Kuncoro, Samuel Indratma, Arie Dyanto, Bambang Toko, dan sebagainya. Komik itu berupa kompilasi karya komik dari beberapa mahasiswa seni rupa yang digandakan dengan teknologi mesin fotokopi. Semangat bermain menjadi awal dari munculnya komik alternatif ini. Pengambilan nama Core Comic itu sendiri dilakukan dengan cara main-main, dengan cara menggabung-gabungkan huruf sisa-sisa rugos (huruf gosok) yang sering dipakai buat mendesain dan menggambar komik (pada waktu itu komputer masih jarang ditemui). Para penggagas Core Comic mengakui adanya pengaruh acuan yang sempat mereka dapatkan dari komik-komik underground luar negeri, salah satunya adalah RAW Comix. Media Aikon menulis bahwa ada perbedaan antara komik yang terjadi di Amerika dengan yang sejenis di Indonesia. Jika di Amerika komik semacam itu lahir dari perubahan budaya, sementara di Indonesia tumbuh dalam semangat independen. Keterbatasan acuan pada masa itu (mahasiswa sangat susah mendapatkan buku-buku dari luar negeri, dan internet belum hadir) membuat para mahasiswa itu mencari jalan sendiri dalam menafsirkan segelintir buku atau informasi dari luar negeri. Para pelaku komik jenis itu mengakui bahwa sebelum mereka menemukan media ekspresi seni dengan komik (yang kemudian mereka temukan pada ZAP Comix, RAW Comix, dan sebagainya), mereka telah melakukan praktik-praktik sejenis. Salah satunya adalah Popok Tri Wahyudi, yang nantinya dikenal sebagai salah satu anggota Apotik Komik, yang semasa perkuliahan awal seni lukis pun dia sudah menawarkan jenis lukisan yang ‘komikal’ dengan mengandalkan goresan garis hitam untuk menggambar di atas kanvas.
Core Comic sekaligus menandai cara yang berbeda dari para seniman muda Yogyakarta dalam mensikapi terpuruknya produksi dan distribusi komik nasional. Di tahun-tahun sebelumnya, komikus Jakarta dan Bandung sudah mendahului menghadirkan “komik Indonesia” dengan menggunakan adaptasi dari komik-komik industri besar Amerika, tercatat di kalangan kampus IKJ muncul Sekte Komik, dan di ITB Bandung ada Qomik Nusantara. Di Yogyakarta, munculnya kembali produksi komik lebih untuk menampilkan semangat alternatif dan independen. Komik indie di Yogyakarta menggunakan teknologi penggandaan yang dekat dan terjangkau, yaitu mesin fotokopi. Penggunaan teknologi ini membawa ekspresi seni menjadi peristiwa sehari-hari, yang bisa digandakan oleh siapa saja.
Di Yogyakarta, pada tahun 2000an awal muncullah komik Daging Tumbuh. Komik itu menyebut dirinya sebagai sebuah galeri dalam bentuk komik. Sebutan ini menunjukkan bahwa komik foto kopian itu adalah ruang alternatif bagi para seniman untuk mengekspresikan karya seninya. Komik Daging Tumbuh diterbitkan secara reguler, dan mengundang kontributor dari seniman maupun non seniman untuk mengirimkan komiknya. Eko Nugroho, sebagai motor penggerak komik ini menjadi inspirasi bagi seniman sesudahnya untuk melakukan ekpresi seni yang lebih bebas dan tidak membatasi diri pada bentuk-bentuk seni yang ‘dianggap penting’. Penerbitan komik indie ini menjadi arena pembelajaran bagi para seniman muda yang kemudian merambah berbagai media seni lain seperti animasi, sound art, fotografi, drawing, dan sebagainya.
Komik indie, yang lebih dekat pada ekspresi seni memunculkan ‘genre’ seni yang lain, yang dekat dengan gaya, metode, dan teknik dalam seni luksi hari ini. Seni ilustrasi, komik, drawing, dan cetak alternatif di minat utama seni grafis di kampus ISI Yogyakarta juga memberi pengaruh yang besar bagi munculnya karya seni (lukisan) yang berbasiskan garis (outline) tegas dan kebiasaan membuat karakter tokoh tertentu.
Beberapa pameran seni di Indonesia akhir-akhir ini menampilkan ciri-ciri yang unik. Beberapa seniman muda tidak hanya memamerkan karya lukisan di atas selembar panel, tetapi juga merambah dan meluas memasuki tembok-tembok galeri. Beberapa pameran seni rupa mulai menampakkan gejala ini, misalnya Agraris Koboi, Indonesian Disjunction, Street Noise dan sebagainya. Mereka juga menampilkan citra-citra yang sebelumnya tidak banyak digunakan dalam karya seni, seperti tengkorak dan tokoh-tokoh kartun. Karya-karya mereka juga menggunakan garis tegas untuk membuat bentuk, dan sebagian besar bahkan garis dengan warna hitam, sesuatu yang sangat tidak dianjurkan dalam dunia lukis melukis di ISI Yogyakarta, terutama di tahun1980an.
Komik bagi Bambang Toko menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kerja seninya. Dosen yang juga mengajar komik di kelasnya itu banyak mempengaruhi para mahasiswa dalam membuat karya yang terpengaruh komik. Komik bagi Bambang Toko adalah upayanya untuk melihat benda-benda ‘tidak penting’ seperti gambar umbul, plang nama usaha kecil, dan segala jenis produk visual pingir jalan sebagai bagian dari produk seni.
Daging Tumbuh memunculkan tiga nama yang kemudian menjadi seniman terkemuka di tanah air. Mereka adalah Eko Nugroho, Wedhar Riyadi, dan Eko Didik Sukowati. Kalau Eko Nugroho banyak mempengaruhi kawan-kawannya dengan ajakannya untuk berani menggambar dengan teknik apa saja dan bentuk apa saja, maka Wedhar memberi pengaruh yang berbeda. Wedhar Riyadi adalah salah satu tokoh utama dari generasi pasca Apotik Komik. Pemuda pendiam itu menjadi ‘panutan’ bagi kawan-kawannya dalam membuat gambar. Secara teknis, Wedhar semakin memantapkan jenis karya yang menggunakan outline garis kuat (hitam dan warna-warna lainnya) yang sebelumnya dijauhi terutama dalam lukisan. Karya Wedhar adalah kombinasi antara figur-figur lucu dengan tema-tema kekerasan dan kengerian.
Nano Warsono walaupun mengawali seninya dengan belajar patung, tetapi menganggap semua yang dilakukannya berbasis pada akitivitas menggambar (drawing). Pada mulanya, Nano Warsono menghancurkan ikon-ikon populer, dengan menampilkan superhero dan tokoh-tokoh kartun pada konteks yang berbeda. Karya-karya terkininya banyak mengambil visualitas dari folk art lokal, kerumitan ornamen, dan tokoh-tokoh populer dengan visualisasi bentuk-bentuk dari kartun.
Ermambang Bendung banyak bekerja sebagai desainer. Lukisan dan patung yang dikerjakannya adalah bentuk manifestasi lain dari ‘concept art’ dalam dunia disain. Bendung mempertemukan dunia fantasi dalam film kartun, komik, dan video game, dengan kisah-kisah folklor dari dalam negeri.
Beberapa seniman muda dalam kecenderungan ini berasal dari minat utama seni grafis. Mereka juga mengawalinya dari persoalan-persoalan teknik dalam mencetak karya dua dimensional dalam dunia seni grafis. Di satu sisi mereka kebanyakan merasa mempunyai beban yang lebih berat ketika melukis di atas kanvas, tapi di sisi lain mereka kemudian membuat anggapan bahwa apa yang dilakukannya di atas kanvas bukanlah aktivitas melukis ‘yang sesungguhnya’. Kebanyakan mereka yang belajar seni grafis di kampus, kemudian menggunakan pengetahuan mereka dari seni cetak alternatif, menggambar, dan karakter-karakter teknik tertentu dalam seni grafis untuk diterapkan dalam karya dua dimensinya, termasuk lukisan. Mereka yang mengawalinya dari persoalan-persoalan mencetak (printmaking) adalah Toto Nugroho, Uji Handoko, Hendra Blangkon Priyadhani, dan Rudi Atjeh.
Uji Handoko (Hahan) menggunakan efek ketaksengajaan yang terjadi dalam missing print untuk serangkaian karya dua dimensinya. Teknik ini diterapkannya untuk menggambar di mana saja, baik di atas kanvas maupun di permukaan lainnya, seperti kayu, kardus, kertas dan sebagainya. Hahan lebih mengaku dirinya sebagai ‘anak grafis’, sehingga perlakuan mencetak dalam seni grafis diterapkannya ketika menghadapi kanvas, sebagaimana pula kerja yang dilakukannya di mural.
Toto Nugroho membawa persoalan efek cetakan wood cut (cukil kayu) dalam lukisan-lukisannya. Keterbatasan efek visual dari teknik ini ketika dilukiskan kembali di atas kanvas, justru menjadi strategi visual yang menarik bagi Toto. Teknik ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Toto di atas kanvas adalah ‘bukan melukis’, tapi membuat versi lain dari wood cut yang dibuatnya di atas kertas.
Hendra Priyadhani, Rudi Atjeh dan Prihatmoko Moki banyak membuat lukisan menggunakan teknik silkscreen di atas kertas maupun di kanvas. Hal yang lucu bisa menjadi persoalan serius bagi Prihatmoko Moki. Moki membuat komik mengenai kelucuan-kelucuan kecil di sekitar kehidupan pribadi dan teman-temannya. Di sisi lain, Moki juga menyukai hal-hal yang bersifat misteri dan fantasi, seperti alien. Kesukaannya pada hal itu termanifestaikan pada hobbynya memainkan dan mendengarkan musik bergenre suasana (bjork, radiohead, sigur ross, dan sebagainya). Bersama teman-temannya, Moki membuat sebuah band yang diberi nama Airport Radio. Kecenderungannya akan hal-hal misteri dan musik suasana itu juga muncul dalam komik-komiknya yang lain. Lukisan-lukisannya juga banyak mengambil gambar tokoh-tokoh musik yang dikagumi untuk menggambarkan suasana yang dirasakannya.
Sedikit berbeda dilakukan oleh Decky ‘Leos’ Firmansyah, salah seorang di antara mereka yang belajar seni lukis di kampusnya. Leos tidak menonjolkan outline garis pada lukisannya. Dia membentuk figur dan bentuk lain dalam lukisannya dengan teknik gelap terang dan kesan tiga dimensional. Lukisan Leos adalah bentuk kekagumannya pada adegan atau gerakan-gerakan dramatik tertentu dalam film dan game. Film dan game adalah realitas visual yang membantu imajinasinya dalam menyusun adegan-adegan lukisan yang dramatis, fantastis, dan menegangkan. Dalam dunia seni lukis, adegan menegangkan, dramatis, dan tragis dapat dilihat pada masa jayanya romantikisme (lukisan yang terkenal aliran itu “Rakit Medusa” dari Theodore Gericault  1818). Leos menggunakan sumber lain sebagai acuan, bukan lagi pada kisah-kisah klasik dan heroik, tetapi mengambilnya dari realitas visual kontemporer dari dunia film dan game. Karya terakhirnya bergenre ‘post apocalyptic’ yang menampilkan adegan tragis dan dramatis pasca kehancuran dunia.
Di kampus seni rupa ISI Yogyakarta, perempuan selalu menjadi minoritas, termasuk salah satunya adalah Gintani Swastika. Gintani menggugat dirinya sendiri dan kebanyakan karya seniman perempuan yang mempersolkan tubuh dalam karya seni. Tema-tema seputar dunia perempuan dibuatnya dalam bentuk visualisasi yang mirip kolase, dengan menggabungkan antara teks, gambar, dan warna.
Beberapa di antara mereka menyinggung isu-isu penting kemanusiaan tetapi dengan cara yang tetap ‘playful’. Sebagai contoh adalah Fatturahman ‘Indun’ yang membuat gambar-gambar mengenai isu energi alam, terutama minyak bumi. Gambar-bambarnya menggunakan gaya kartunal, dipenuhi oleh citra tengkorak, tulang belulang dan rongsokan mobil.
Kelompok yang lebih muda mulai memikirkan jalur distribusi alternatif yang lebih menjangkau publik. Mulyakarya adalah kelompok yang mengawali aktivitasnya dengan membuat Katalog Komik, yaitu sebuah terbitan untuk mempromosikan dan memasarkan komik-komik alternatif ke masyarakat luas. Mulyakarya aktif membuat lapak untuk menjajakan komik-komiknya itu baik dalam acara-acara seni rupa maupun acara-acara anak muda pada umumnya, seperti Kick Fest dan festival-festival clothing lainnya.

SENI PUBLIK
Bubarnya Core Comic tahun 1997 memunculkan nama baru Apotik Komik, yang digawangi Samuel Indratma, Bambang Toko, Ari Dyanto, dan Popok Triwahyudi (semuanya adalah penggerak Core Comic). Berbeda dengan Core Comic yang modusnya menggunakan fotokopian untuk menerbitkan buku kompilasi komik, Apotik Komik memilih media dinding dan barang-barang bekas sebagai media ekspresi. “Seni publik” menjadi gagasan besar Apotik Komik, dengan beberapa projek yang mereka lakukan: Project Mural Komik “Melayang” di kawasan desa Nitiprayan menjadi debut mereka pertama di ruang publik, Projek Mural “Jika Sakit Berlanjut”, di kawasan Malioboro, Yogyakarta, dan project mural ‘Sama-sama’ di jembatan layang Lempuyangan. Projek Mural SAMA-SAMA (2002 dan 2003) menjadi proyek seni jalanan paling fenomena, di Yogyakarta yang dikemudian hari mampu memuralkan kota Jogja.
Arie Dyanto mengatakan bahwa perjuangan Apotik Komik pada masa itu lebih ke persoalan opportunity. Arie menyatakan bahwa “okelah misal kontemporer dibentuk atau diintroduce oleh Cemeti, sampai kemudian secara tidak jelas orang punya mindset kontemporer itu seperti ini, (kasarannya instalasi..) Terus kalau lukisan itu modern.. Apotik Komik merasa bagian dari seni kontemporer, tapi kita punya pendekatan yang lain. Kita sebenarnya berharap itu diakui sebagai seni kontemporer”. [1]
Dalam praktiknya, Apotik Komik bekerja dalam dua modus. Pertama adalah kerja projek yang dilakukannya di ruang publik, dan yang kedua adalah kerja seni kontemporer dalam ruang galeri. Pada kerja yang disebut sebagai projek, Apotik Komik menjadi sebuah komunitas yang lebih mencair, yaitu dengan melibatkan seniman-seniman lain di luar anggota Apotik Komik sebagai sebuah grup. Sedangkan pada karya yang hadir di ruang galeri, Apotik Komik menjadi sebuah kelompok seni yang jelas anggota-anggotanya, yaitu keempat seniman tersebut.
Mural SAMA-SAMA menjadi penanda penting bagi gejala seni ini dan relasinya dengan perkembangan seni sejenis di dunia internasional. Projek ini berkembang cukup jauh dengan melakukan kerja sama dengan seniman-seniman jalanan San Fransisco. Ade Tanesia dalam buku yang didedikasikan untuk projek ini menyatakan bahwa inilah “pertukaran budaya yang susungguhnya”. Tahun 2003 Samuel Indratma, Arie Dyanto, Arya Panjalu, dan Nano Warsono menginjakkan kakinya di San Fransisco dan bekerja sama dengan seniman setempat membuat mural di jalanan kota itu. Dari San Fransisco, para seniman yang tergabung dalam Clarion Alley Mural Project, yaitu Aaron Noble, Andrew Schoultz, Megan Wilson, Carolyn Castano, Carolyn Ryder dan Alicia McCarthy sudah relebih dahulu mengerjakan projek bersama Apotik Komik di jalanan Yogyakarta. Para seniman itu, baik yang berasal dari Yogyakarta maupun San Fransisco, pada hari ini menjadi seniman-seniman cukup penting dalam jenis seni ini.
Modus kerja yang dikerjakan Apotik Komik yang cair dan melibatkan banyak pihak, menjadi kekuatan sekaligus bumerang bagi kelompok ini. Sebagai sebuah kelompok yang juga mempunyai anggota tetap, Apotik Komik mengalami persimpangan jalan. Di satu sisi, kerja-kerja kolektif Apotik Komik tidak dapat mengacu pada satu dua orang nama dari dalam anggota kelompok ini, di sisi lain adalah pameran-pameran seni rupa dalam ruang galeri yang menunjukkan kerja kolektif kelompok ini sebagai sebuah kelompok seni dengan nama-nama anggota tetapnya secara berempat. Kemenduaan ini menjadi salah satu alasan perpecahan dalam kelompok ini. Apotik Komik membubarkan diri pada tahun 2003. Samuel Indratma yang lebih fokus bekerja dalam komunitas masyarakat di ruang publik, meneruskan projek-projek seninya dengan masyarakat dan berbagai seniman lainnya di luar Apoktik Komik. Sampai hari ini, Samuel adalah salah seorang yang gigih bekerja dengan modus seperti itu. Bambang Toko yang juga seorang dosen seni grafis di ISI Yogyakarta lebih intens berkomunikasi dengan seniman-seniman muda setelah mereka. Bambang juga menggerakkan ruang-ruang kecil yang mengakomodasi kelompok-kelompok seniman muda yang penuh dengan semangat bermain. Arie Dyanto meneruskan semangat bermain dari Apotik Komik dalam kerja-kerja yang berhubungan erat dengan seni urban, budaya anak muda, dan gaya hidup. Arie menjalin komunikasi intesif dengan para pelaku street art baik di Yogyakarta maupun di Jakarta. Popok Tri Wahyudi memilih seni lukisnya sebagai jalannya untuk merambah ke wilayah seni yang lebih luas, dengan tetap mempertahankan gaya melukisnya dalam Apotik Komik, dan juga beberapa kali memproduksi komiknya sendiri.
Apotik Komik membuka jalan bagi para seniman muda setelahnya, terutama pada penggunaan komik dalam seni rupa dan kerja seni di ruang publik. Beberapa seniman muda lain yang sudah mengerjakan karya dengan tendensi sama, mulai menemukan jalan untuk merintis di jalur seni kontemporer. Gerakan yang semula berpretensi mengambil posisi berbeda dalam seni kontemporer di Yogyakarta mulai menemukan medan permainannya yang lain.
Arie Dyanto menjelaskan bahwa kalau Apotik Komik punya wacana seni publik waktu itu berkembang wacana street art, artinya banyak seniman turun ke jalan tanpa lewat sebuah project yang dibikin matang dan dipublish secara formal. “Saya mulai tertarik bentuk seperti ini, tidak harus bersitegang, karena ketegangannya luar biasa ketika menggagas sebuh project, siapa yang bekerja lebih banyak, siapa yang tidak bekerja. Konflik ini yang menurut saya capek, sementara semua mengatasnamakan klub, sebuah niat baik, kontribusi. Tapi kita sendiri secara pribadi juga kehabisan energi , kalau dihitung-hitung kerja kita juga terbayar agak capek juga, sementara kita lihat teman-teman lain lebih maju..”
Sekembalinya dari San Fransisco, Nano Warsono bergabung dengan seniman-seniman yang lebih muda untuk semakin intens menggarap street art. Di sebuah reruntuhan bekas bioskop mereka membuat Illegallery, sebuah ruang untuk menampilkan karya-karya mereka. Pada masa itu, jalanan di Yogyakarta semakin banyak ditemui grafiti, mural, dan bentuk-bentuk street art lain seperti tempelan (wheat paste), stensil, dan sebagainya. Nano dan kawan-kawannya kemudian membuat ruang kecil sebagai oulet untuk kerja kreatif di jalan itu dan mendokumentasikan gerakan seni itu dalam CC.Doc.
Samuel Indratma adalah anggota Apotik Komik yang masih intens bekerja dalam wilayah projek-projek seni publik. Kerja yang dilakukannya bahkan melibatkan pemangku kebijakan tata kota, seperti dengan pemerintah daerah. Samuel juga menjadi inisiator berdirinya forum-forum bagi pekerja seni publik. Lewat campur tangannya, seni publik di Yogyakarta menjadi bagian penting dalam tata kota dan pemahaman masyarakat mengenai seni visual.
Farhansiki adalah pekerja seni jalanan yang memulainya dari kerja-kerja personal di ruang publik. Persinggungannya dengan seni rupa kontemporer dimulainya secara intensif setelah melakukan projek bersama Apotik Komik. Dalam ranah seni visual di Indonesia, Farhan membawa seni stensil dan street art pada umumnya dalam wacana seni kontemporer. Beberapa projeknya di runag galeri juga melibatkan kerja seni di jalannya dan diterima oleh publik seni rupa dengan baik.
Generasi street art yang lain mulai bermunculan, dengan berbagai gaya dan acuan. Mereka antara lain Love Hate Love, yang secara fenomenal menghiasi kota Yogyakarta dengan grafiti dan mural yang dikerjakannya hingga hari ini. Kelompok-kelompok lain yaitu YKILC, Anti Tank, YORC, Plus, dan Here Here. Mereka tidak lagi berkiblat pada situasi yang terjadi di dunia seni rupa, seperti isu seni rupa kontemporer, trend seni, dan sebagainya, tetapi lebih mengacu pada gerakan-gerakan sub-kultur dan ekspresi anak muda, seperti Hip Hop, skaters, BMX, sepeda fixed gear dan sebagainya. Di antara para mahasiswa yang kemudian aktif dalam gerakan seni ini adalah Sulung Widya Prastawa dan Tatsoy.
MUSIK
Pada tahun 1995, di ISI Yogyakarta diselenggarakan sebuah acara musik yang dinamai Recycle Music. Pius Sigit Kuncoro menyebutkan bahwa benih dari acara itu adalah sekelompok mahasiswa yang menyebut diri mereka sebagai IWOBI (Ikatan Wong Bingung), diketuai Dionisius yang kemudian didaulat sebagai ketua penyelenggara Recycle Music. Kegiatan ini berupa pergelaran musik kampus pertama setelah dua tahun vacum karena kasus pembunuhan pasca kegiatan musik (memperingati hari Kartini). Warna musik yang diusung berbeda dengan musik-musik sebelumnya yang sangat bernuansa lokal (sampak-dangdut-rock). Kegiatan ini menandai munculnya semangat baru di kalangan mahasiswa, yaitu semangat alternatif yang berorientasi pada perbedaan tampilan yang “lain dari pada yang lain”. Hal ini ditunjukkan pada konsep pementasan, di mana pemain musik dikurung di bawah pohon besar, sementara penonton yang menyaksikan pementasan berdandan aneh-aneh seperti pesta Hellowen yang sangat tidak lazim pada masa itu (trend kostum mahasiswa seni saat itu umumnya berorientasi pada gaya cowboy dan Indian). Setelah acara ini berlangsung tampak adanya gairah baru untuk menksplorasi media-media baru seperti komik, poster, dan multimedia. Tema-tema gelap penuh kekerasan yang senantiasa menampilkan simbol-simbol kematian dan ketelanjangan mulai digeser dengan tema-tema lain yang bersifat konyol (dark humor).
Di tahun 1996, beberapa mahasiswa seni rupa ISI Yogyakarta menggagas sebuah acara musik besar yang diberi nama “Twenty Something, Twenty Nothing” (TSTN). Acara ini menampilkan banyak sekali band-band alternatif pada waktu itu, band-band yang mempunyai penggemar tertentu dan tidak atau belum didistribusikan melalui label besar. Beberapa band itu antara lain Rumah Sakit, Naif, Fable dari Jakarta, bekicot, pop up pet, dari Jogjakarta, dan dari Bandung antara lain Turtle Jr. Bagi Ade Darmawan, salah satu penggagas acara ini, tujuan dari acara itu adalah untuk merefleksikan zaman. Pada waktu itu, acara musik dan aktivitas anak muda (youth culture) biasanya tidak pernah bersentuhan langsung dengan aktivitas seni rupa. Pada TSTN para mahasiswa seni yang menggagas acara itu mendisain acara itu sebagai sebuah aktivitas kreatif anak muda, lengkap dengan manifestasi visual di jalan, termasuk menyemprot logo acara itu yang berbentuk tanda silang di jalan-jalan, dan mengaplikasikannya pada kaos. Salah seorang mahasiswa disain yang menjadi penggerak acara ini, Bintang Hanggono mengatakan bahwa: “waktu itu situasinya agak panas, sempat stensilan logo X (logo yang dipakai untuk acara TSTN) dianggap kode buat makar dan menandai TO...”[2].
Masa itu menandai sebuah fase di mana seni rupa dan ekspresi seni populer yang dianggap ‘tidak penting’ termasuk youth culture bertemu dalam satu arena. Sebuah pertemuan yang semakin intens, karena bertemu dalam semangat yang sama: alternatif dan independent. Berbeda misalnya kalau melihat gejala sebelumnya seperti GSRB dan Binal, di mana semangat pembaharuan dan pemberontakan terhadap kebuntuan itu berlangsung secara dominan dalam wilayah seni rupa itu sendiri. Aspek-aspek budaya populer yang sebelumnya hadir sebatas tematik, saat itu mulai menjadi perhatian dan menjadi jalan ekspresi seni.
Di akhir 90an Sigit Pius mendirikan Greber ModusOperandi (hingga di hari ini mempengaruhi perkembangan seni Multimedia Performance), Ade Dharmawan mendirikan Ruang Rupa (hingga di hari ini mempengaruhi perkembangan video art), Popok, Samuel, Bambang Toko dan Arie Dyanto mendirikan Apotik Komik (hingga di hari ini mempengaruhi perkembangan seni mural dan karya lukis bergenre street art). Kemunculan Geber ModusOperandi di akhir tahun 90an merekatkan hubungan seni rupa/visual dengan seni pertunjukan/teater. Bila di era 80an bentuk-bentuk teatrikal mempengaruhi perkembangan seni performance art, maka di era 2000an tampilan-tampilan visual mempengaruhi perkembangan seni teater di Indonesia. Geber ModusOperandi digawangi oleh Sigit Pius, Bintang Hanggono, Wildan Antares, dan Amrizal Sulaiman (awalnya dikenal sebagai sutradara teater, kini dikenal sebagai pelukis).
Pasca acara-acara itu, muncullah acara-acara musik yang bersinggungan dengan seni rupa, baik sebagai pelaku maupun penyajian kreatifnya. Beberapa acara itu antara lain “Mencari Harmoni”, “Parkisound”, “Merayakan Kejenuhan”, dan sebagainya. Beberapa band dari seni rupa juga tidak hanya melakukan kreativitas pada musiknya, namun juga menggunakan bentuk-bentuk visual baik dalam konsep pementasan maupun pada produk-produk kreatif lainnya seperti poster, banner, kaos, dan stiker. Beberapa grup musik itu antara lain Seek Six Sick, Blak Boot, Black Ribbon, Airport Radio, Jenny, Sangkakala, Cangkang Serigala, dan lain-lain. Acara-acara pameran seni rupa juga dihiasi oleh pementasan musik yang kreatif, termasuk pada eksplorasi bunyi: noise art dan sound art. Di tahun 2003, Eko Nugroho membuat pameran “Sound Garden” yang menggabungkan antara bunyi dengan visual.
Pada seniman sesudahnya, pengaruh musik dalam karya juga nampak pada tema karya dan sumber acuan. Mereka mengambil inspirasi dari grup musik yang mereka kagumi, dan menggunakan gaya visual dari poster, artwork, dan penampilan musisi itu sebagai gaya visual dalam berkarya seni rupa. Dari dalam kampus, mahasiswa angkatan 2002 ISI Yogyakarta kebanyakan mengangkat tema musisi itu dalam karyanya.
Kelompok musik Seek Six Sick digawangi dua orang perupa, salah satunya adalah RM Soni Irawan. Irawan mengatakan bahwa apa yang menjadi kesamaannya dengan seniman-seniman lain dalam “agro pop” ini adalah dalam ‘bermain’. Dia menggagas projek-projek dengan semangat bermain itu seperti “Merayakan Kejenuhan”, sebuah projek seni bunyi, yang melibatkan musisi-musisi indepedent Yogyakarta untuk mengeksplorasi bunyi-bunyian secara eksperimental. Soni juga menggarap karya-karya visual yang didasari oleh semangat bermain itu. Karya-karyanya sinikal, dengan bentuk-bentuk dan garis-garis spontan.
Band lain yang lahir dalam komunitas ini adalah Sangkakala. Hendra Priyadani, front man dari band ini adalah yang paling getol memasukkan isu seni dalam musiknya, misalnya dengan pernyataan yang dibuatnya mengenai kerja seni dan musiknya, yaitu: Fine Art Rock. Tema-tema karyanya juga seputar kehidupan
Pada masa lebih kini, Wok The Rock, salah seorang anggota MES 56 membuat net label yang dinamai Yes No Wave. Label ini mendistribusikan lagu secara gratis, untuk mempromosikan hasil karya talenta-talenta muda yang tidak punya banyak kesempatan, mengalami hambatan finansial untuk memproduksi dan mendisitribusikan karya mereka dalam format vinil, CD atau kaset. Secara online label ini memungkinkan band/musisi untuk menampilkan karya mereka ke publik yang labih luas. Bagi Wok The Rock, label ini adalah aksi ‘gift economy’, sebuah eksperimentasi dalam menerapkan model musik gratis kepada pecinta musik di dunia yang kapitalistik ini. Aksi ini bukanlah gagasan menghancurkan industri musik yang sudah mapan ratusan tahun, tetapi lebih pada tawaran alternatif dalam mendistribusikan karya musik secara gratis.
Wok The Rock juga membuat karya seni dari konteks itu. Karyanya berjudul “Burn Your Idol”, adalah karya yang menggunakan metode interaktif melalui jaringan internet. Setiap orang berhak mengajukan sebuah album musik yang punya kenangan tertentu atasnya. Album itu kemudian dicopy oleh Wok The Rock dan kemudian dibuat dalam bentuk CD lengkap dengan cover versi penggandaan itu. Karya itu sebagai penanda sebuah era di mana penggandaan lagu tidak lagi terbendung dan sekaligus sebagai cara membaca kembali selera musik dan praktik konsumsi budaya anak muda hari ini.
Cangkang Serigala merupakan grup karaoke yang kebanyakan memainkan musik black metal. Selain menyanyi mereka juga menari, merias, menggambar, dan berjulana merchandise. Mereka mengeksploitasi habis habis-habisan gaya hidup scene lokal black metal dalam penampilan, gambar, dan tingkah polahnya. Terkadang mereka juga menabrakkannya dengan visualitas religi dan populer. Cangkang Serigala menggabungkan antara aksi mereka melalui dandanan dan tarian mereka di panggung, dengan gaya disain dan gambar yang unik yang mereka dristibusikan melalui internet, t-shirt, poster dan cetakan lainnya.
Kegemaran Agus Yulianto mendengarkan musik dan bermain gitar disalurkannya dengan mengoleksi gitar, buku-buku musik (terutama punk dan metal), dan menggambarnya. Dasar dari kerja seninya adalah menggambar dan membuat woodcut print (cukil kayu), dengan outline hitam yang dimainkan ketebalan dan ketipisannya.
Arya Pandjalu ikut terlibat pada dua komunitas yang bekerja di ruang publik, yaitu Apotik Komik dan Taring Padi. Dalam musik, Arya Panjalu bergabung dalam grup Black Boot. Grup ini fenomenal di Yogyakarta, dan menjadi favorit anak-anak muda. Mereka menggunakan lirik-lirik berisi kritik sosial. Dalam karya seninya, Arya menggunakan berbagai media, termasuk instalasi, lukisan, video performer, dan sebagainya.
Farid Stevy Asta menjadi front man band yang dulu disebut Jenny (sekarang bermetamorfosa menjadi Festivalist). Selain bermusik, Farid juga membuat disain dan melukis. Farid bekerja ulang alik di wilayah youth culture dan seni kontemporer. Farid mampu membawa isu serius dalam kebudayaan kontemporer ke wilayah youth culture, dan sebaliknya, membawa isu anak muda dalam karya-karya seninya. Memproduksi benda-benda seni yang mengarah ke komunitas penggemar dengan selera dan aktivitas yang sama menjadi salah satu minatnya akhir-akhir ini.
Gaya dandanan anak muda dalam kultur musik punk, metal dan sebagainya dilihat sebagai bentuk visual yang menarik bagi Iyok Prayoga. Pelukis yang sekaligus pemain gitar pada beberapa band lokal ini menggambarkan semangat anak muda hari ini dengan bentuk-bentuk ekspresi budayanya. Baginya tidak ada dikotomi antara modern, tardisi dan sebagainya, karena apa yang dikonsumsinya di hari ini adalah gabungan campur aduk antar berbagai konsep, baik apa yang disebut orang sebagai ‘lokal’ dan ‘global’. Iyok dibesarkan dengan kultur musik, terutama punk rock. Dalam seni rupa Iyok banyak mengerjakan light box, lukisan, t-shirt, dan printing.
Krisna Widiathama merasakan dirinya berada di dua habitat, pertama adalah jaringan dunia musik dan yang lain adalah seni rupa. Pada habitat yang pertama, Krisna telah mempunyai jaringan internasional yang bagus dengan komunitas yang sama di luar negeri, seperti kompilasi “I Want Your Skull” yang salah satunya menempatkan gambar tengkorak versinya derdampingan dengan para penggambar tengkorak dari berbagai negara. Krisna juga menjadi ilustrator untuk disain-disain kover musik-musik metal yang dikerjakannya untuk band-band lokal maupun nasional. Selain itu dia juga mebuat beberapa projek musik yang bergenre ‘gelap dan bising’, seperti Liwoth, Asangata, Black Ribbon dan sebagainya. Di sisi seni rupa, Krisna juga membawa karakter ‘gelap dan bising’ itu dalam lukisan, patung atau karya grafisnya. Dia merasakan ketidak leluasaannya ketika harus membuat karya untuk galeri, karena ada beberapa sisi yang harus dia tutupi atau samarkan. Justru dengan dua habitat itu, Krisna memperkaya ranah seni rupa, karena munculnya makhluk aneh dan kegaduhan itu berasal dari tempat yang semestinya.
Wisnu Auri menggambarkan hubungan antara kesukaannya bermain musik dengan karya seni visualnya adalah pada suasana yang dibangunnya. Karya-karyanya berupa kumpulan benda-benda keseharian yang hadir sebagaimana adanya namun mengalami beberapa perubahan, seperti kursi yang dipanjangkan, kaki meja yang dimiringkan, kertas-kertas, dan buku-buku. Buku menjadi salah satu benda yang paling sering hadir dalam karyanya, baik yang dihadirkan sebagai tiga dimensi, maupun yang dijadikan dua dimensi di dinding.
Rudi ‘Atjeh’ Darmawan menjadi salah satu anggota grup musik Sangkakala. Tema-tema kegagahan, kemachoan, muncul dengan visual harimau, asesoris logam, dan rambut gondrong. Rudi Atjeh dan Blangkon dari kelompok ini mengolah habis-habisan gaya musik rock lawas, terutama di Indonesia, dalam mengadaptasi musisi rock manca negara. Mereka menyebut genre musik mereka sebagai “rock kabupaten”, yang dapat dilihat dari teriakan-teriakan sang vokalis, “sampai jumpa di Ponorogo!!” Sebuah genre musik rock yang beredar di panggung-panggung kota kabupaten. Dalam karya seninya Atjeh mengeksplorasi binatang-binatang itu dengan mengambil visualisi gaya band-band rock masa lalu.
DUNIA HOBBY, GAYA HIDUP, dan INDUSTRI BUDAYA
Arie Dyanto adalah salah satu jebolan Apotik Komik yang kemudian intens persinggungannya dengan budaya urban dan gaya hidup, termasuk dengan musik dan olahraga (hip hop, skate board). Arie menginisiasi pameran-pameran yang menunjukkan ekspresi budaya itu melalui pameran “Sneakers-Sneakers”, “Paper Soles”, dan “SHOUT OUT!”. benda-benda konsumsi budaya populer, seperti sepatu, sepeda fixed gear, dan sebagainya menjadi ekspresi seni bagi anak-anak muda.
Pada bentuk lain Indieguerillas, Iwan Effendi, dan Hendra Hehe, sampai hari ini masih pula berkiprah dalam bentuk-bentuk ekspresi itu, seperti paper toys, urban vinyl dan sebagainya yang tidak menjadi bagian dalam seni rupa di galeri-galeri, namun mempunyai penggemar yang fanatik dan menjadi industri budaya masyarakat urban.
Daging Tumbuh Shop yang merupakan pengembangan dari komik Daging Tumbuh bekerja sama dengan Wedhar Riyadi membuat sebuah toko yang disebut sebagai Fight For Rice. Toko ini mempunyai konsep sebagai sebuah toko yang menjual benda-benda unik. Mereka membuat beberapa projek ‘versus’,  berbentuk produk-produk hasil kerja bersama dengan para pekerja kreatif lain.
ERA REPRODUKSI MEKANIK
Di media seni yang berbeda, muncul Mes 56. Ruang kecil yang mengakomodasi karya-karya fotografi itu menjadi sangat menonjol karena tidak adanya ruang sejenis di Yogyakarta, atau bahkan di Indonesia. Mes 56 diawali dari beberapa mahasiswa Media Rekam ISI Yogyakarta yang merasa mempunyai selera yang sama. Wimo salah satu tokoh di kelompok ini mengakui kedekatannya dengan praktik seni rupa di Yogyakarta membuatnya berbeda dengan apa yang dipelajari di kampus.
Ruang Mes 56 menjadi ruang alternatif yang berjiwa muda. Di sana bukan hanya diskusi dan presentasi mengenai fotografi, tetapi juga merambah pada video dan musik. Projek Video Battle yang diinisiasi oleh Wimo Ambala Bayang dan Wok The Rock menjadi contoh projek yang menggunakan modus video sebagai ekspresi seni. Selain itu ada pula Edwin ‘Dolly’ Roseno yang melakukan projek-projek seni dengan fotografinya.
Terra Bajraghosa termasuk salah satu seniman muda yang dekat dengan produksi seni pasca reproduksi mekanik. Karya lukisnya yang menarik adalah memanfaatkan visualisasi pixel rendah dengan memanipulasi citra yang sudah ada, seperti karya-karya seni terkenal yang sudah direproduksi dan disebarkan lewat media. Karya-karya lainnya menggunakan animasi dan video, termasuk beberapa di antaranya yang bersifat interaktif. Selain menjadi dosen disain komunikasi visual, Terra adalah juga Robotgoblok, yang sempat membuat karya-karya di jalanan, dan merekayasa karakter mainan robot.
KETIKA MEREKA DALAM RUANG GALERI DAN SESUDAHNYA
Kemunculan Apotik Komik pada tahun 1997 membawa mereka sebagai kelompok seni ke dalam ruang-ruang pameran seni kontemporer. Mereka bekerja secara kolektif menggarap karya yang disertakan dalam acara pameran AWAS!, yang dibawa keliling ke beberapa kota di dunia. Dari situlah beberapa karya sejenis mereka mulai diterima secara luas oleh publik seni rupa kontemporer.
Pada Biennal Jogja ke VII tahun 2003, di Taman Budaya Yogyakarta, kurator Hendro Wiyanto dibantu beberapa tim seleksi mengaransemen pameran yang diberi nama “Countrybution”. Di antara tim seleksi itu ada nama Samuel Indratma dari Apotik Komik dan Rain Rosidi yang waktu itu mengelola Gelaran Budaya. Bersama Hendro Wiyanto, kedua orang yang dianggap mewakili generasi muda pada waktu itu berhasil membawa beberapa nama seniman dan kelompok seni yang sekarang menjadi para seniman-seniman penting dalam gejala yang disebut Agro Pop, yaitu RM Soni Irawan, kelompok MES 56, Nano Warsono, Daging Tumbuh, Bambang Toko. Even-even besar setelah itu juga secara akomodatif menerima karya-karya mereka, termasuk art fair-art fair. Periode tahun 2006 sampai dengan hari ini adalah periode yang sarat dengan aktivitas seni di ruang-ruang galeri seni, baik di even-even kecil galeri privat hingga ke acara-acara perayaan seni rupa. Pasar yang ‘bersahabat’ dengan para seniman muda, membuka peluang yang luas bagi para seniman itu.
Periode tahun 2006 sampai dengan hari ini adalah periode yang sarat dengan aktivitas seni di ruang-ruang galeri seni, baik di even-even kecil galeri privat hingga ke acara-acara perayaan seni rupa. Pasar yang ‘bersahabat’ dengan para seniman muda, membuka peluang yang luas bagi para seniman itu. Aktivisme seni dalam ruang galeri lebih mengemuka. Generasi yang lebih muda yang mengaku banyak belajar dari Apotik Komik, Daging Tumbuh, dan segenrasinya, membuat acara-acara pameran yang mengembangkan lebih jauh gejala ini dalam ruang-ruang galeri. “Serangan Sendu Bulan Gerimis” (2006) adalah sebuah acara yang mulai membawa karya-karya mereka berhadapan dengan apresian dalam ruang galeri. Di Festival Kesenian Yogyakarta ke-18 yang berjudul “Shout Out”, Arie Dyanto sebagai salah seorang kurator pada acara itu membawa para seniman dari gejala ini ke acara-acara seni yang lebih luas. Acara-acara lain mulai banyak yang muncul baik diinisiasi oleh mereka sendiri maupun dibantu dan diorganisasi oleh galeri atau manajer seni, seperti “New Cock On The Block”, “Utopia Negativa”, “Lullaby”, “Agraris Koboi”, dan sebagainya. Munculnya manajemen seni yang banyak mengangkat gejala ini juga ikut membawa gejala ini pada pasar seni rupa kontemporer, seperti projek-projek yang digagas Heri Pemad Art Manajemen, Langgeng Gallery, dan sebagainya yang membawa Bambang Toko, Soni Irawan, Farhan Siki, Wedhar Riyadi, Uji Handoko, dan sebagainya ke medan pasar seni rupa.
Projek pameran Jogja Agro Pop ini diawali dengan berbagai diskusi dan presentasi gagasan mengenai karya seni mereka. Diskusi yang pertama adalah menggagas mengenai posisi gejala ini dan bentuk yang dibayangkan sebagai sebuah ‘komunitas’. Berbagai hal mengenai gejala-gejala yang muncul dari komunitas ‘tak bernama’ itu dibicarakan, dan beberapa kesamaan diamini oleh para peserta, misalnya bagaimana mereka menggali ide-ide dari budaya populer yang biasa dan ‘dianggap tidak penting’, seperti musik, hobby, grafiti, selera, dan aspek budaya anak muda. Yang pertama kali ditolak dalam diskusi itu adalah anggapan bahwa gejala ini didasarkan oleh gaya visual. Satu kata kunci penting muncul dalam diskusi itu, yaitu bahwa posisi para seniman ini berada dalam situasi ‘in between’, antara urban dan rural, yang kemudian meneguhkan terma ‘jogja agropo’. Kesempatan itu kemudian memunculkan gagasan untuk menampilkan posisi masing-masing (dengan merumuskan perbedaan-perbedaan melalui insight masing-masing), sekaligus meneguhkan posisi ‘komunitas’ melalui pemaparan komprehensif secara wacana dan persentasi karya.
Wacana seni kontemporer yang mengarah pada seni konseptual dan isu kelokalan diakui oleh beberapa seniman muda dalam komunitas ini sebagai wilayah yang tidak mereka pahami. Tetapi mereka tidak dapat mengabaikan bagaimana wacana itu menarik mereka dalam projek-projek dan acara-acara seni rupa. Pada diskusi selanjutnya, muncul keinginan-keinginan untuk melihat apa yang bisa dilakukan ke depan. Di tataran kerja seni di ruang publik, Farhan Siki, salah satu seniman yang dibesarkan melalui karya-karya di jalan, melakukan refleksi atas apa yang terjadi sampai dengan hari ini. Baginya seni jalanan pada akhirnya hanya menjadi sekadar “aktivisme di jalanan”. “Kesenangannya oke. Hanya menjadi passion. Bisa dari situ caranya. Misalnya bikin projek menghapus tembok. Bisa memetakan juga site mana yang ideal”.
Beberapa dari pelaku seni ini juga membicarakan masalah distribusi dan konsumsi karya. Bagi mereka, kerja seni seperti ini idealnya membangun kolektor sendiri. Pada praktik konsumsi karya yang terjadi di galeri, mereka mempunyai harapan pada angkatan kolektor muda yang kebanyakan ‘sudah pernah berkuliah di luar negeri’. kolektor-kolektor muda tersebut sudah melek acuan, dalam arti mereka juga melihat perkembangan yang terjadi di medan seni internasional, di mana berbagai kecenderungan yang ‘lain’ turut menjadi karya yang dikoleksi. Pengetahuan para kolektor angkatan baru ini lebih ‘up to date’ sehingga mereka ikut membekali selera mereka dengan kecenderungan baru yang juga dilakukan oleh para seniman muda. Di Eropa kolektor dibangun sendiri. Kalau museum memiliki karya mereka karena menggunakan alasan yang kuat, bukan hanya karena secara market berhasil. Akan tetapi bagi Arie Dyanto untuk membentuk konsumen tersendiri harus ada outlet. Dia melihat apa yang terjadi di San Fransisco, misalnya, di mana karya-karya yang muncul di pesisir barat bisa mewakili itu kecenderungan spesifik, seperti seni tatto, dan sebagainya. Ada beberapa galeri khusus yang mengangkat itu.
Tawaran-tawaran muncul mengenai masadepan komunitas ini. Sebagai sebuah komunitas ada pendewasaan untuk membuat image bersama. Pembelajaran untuk kolektor untuk lebih berarti. Komunitas berjalan dengan pola-pola yang lebih meningkat. Membayangkan even serupa biennal dengan pewacanaan dan publikasi. Tidak ada central tapi tetap bergerak.
Bagi Farhan, Jogja potensial untuk secara organik hadir, tanpa harus direkayasa. Menjadi tengara untuk melihat gejala paling liar dalam seni rupa di Indonesia, yang kadang di luar kaidah-kaidah seni rupa. Kecenderungan itu bisa sangat mungkin, apalagi dibantu proses yang kondusif.
Gejala ini diyakini oleh sebagian besar pelakunya masih mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan. Pada masalah produksi, mereka mempunyai intensitas yang tidak sekadar melayani pasar. Mereka bukan para seniman yang memperlakukan karya seni secara ‘wingit’ (sakral, sacred, berwibawa), tetapi tidak pula melepaskan diri dari wacana seni yang berkembang. Nano menyatakan bawah Agro Pop mampu melampaui trend. Bukan hanya masalah pasar, tetapi Agropop perlu dicairkan dulu sebagai komunitas yang tidak ada membership, dan mengakomoadasi karya-karya yang ‘aura’nya hampir sama. Dapat dilakukan dengan pertemuan-pertamuan yang kontinyu, karena komunitas ini sudah cukup jelas membedakan dirinya dengan kelompok-kelompok seni yang lain. Karakterisitik kota juga mendukung, dengan maraknya pula ruang-ruang alternatif.
Di sisi lain, sebagian mereka juga melihat peluang terjadinya gerakan dalam gejala ini secara lebih hati-hati. Bambang Toko merasa tidak yakin akan munculnya kembali semangat alternatif, karena dirinya yang paling dekat dengan para ‘penerus’ di bawahnya merasa harus selalu turun tangan untuk ‘ngompori’. Modal dan potensi itu ada, tetapi masih harus direkayasa, walaupun dia mengakui untuk generasi sebelumnya tidak menjadi persoalan. Iwan Effendi juga melihat bahwa beberapa kawan seniman mudanya, tidak dapat memaksa dirinya untuk sampai ke batas (limit) kemampuannya, sebagaimana yang dia temui pada seniman-seniman kelas dunia.
Mereka membayangkan adanya bentuk-bentuk acara spesifik yang tidak harus pameran-pameran besar. Bisa jadi berupa pameran-pameran kecil yang membuka kemungkinan kolektor-kolektor yang lain. Penggemar-penggemar lain yang punya pengalaman dan selera yang sama. Arie Dyanto juga membayangkan bagaimana tokoh-tokoh populer dengan semangat yang sama menjadi para pembeli ‘yang seharusnya’, misalnya rock star, yang dapat mengarahkan kecenderungan konsumsi masyarakat pada selera-selera tersebut. Bentuk acara yang lain adalah serupa festival yang terus meningkatkan apresiasi namun lebih spesifik, yang akan menciptakan pasar secara kontinyu karena merupakan hasil dari apresiasi.



[1] Wawancara dengan Arie Dyanto
[2] Wawancara dengan Bintang Hanggono, 27 Maret 2012.