SELAMAT MALAM
Ini adalah blog untuk kumpulan catatan-catatan saya. Tanggal yang tertera di atas teks bukanlah tanggal di mana catatan itu ditulis atau dipublikasikan, tetapi itu adalah waktu saya meng upload catatan tersebut. Banyak catatan yang sudah lama yang baru saya upload dalam blog yang sempat terbengkalai ini. Sebisa mungkin akan saya terakan tanggal dan dimana catatan tersebut dipublikasikan, semampu file saya menyediakan datanya.
Rain Rosidi
Wednesday, October 10, 2007
‘KETAKTERDEWASAKAN’ BOB SICK
Monday, January 15, 2007
ANTARA EKSSKUL DAN ELEPHANT
MEMPERTIMBANGKAN CITRA PIALA CITRA:
ANTARA EKSSKUL DAN ELEPHANT
"I've never saw such a vile and beautiful day"
Alex, beberapa saat sebelum melakukan pembantaian di film “ELEPHANT”
Dunia perfilman kita dikejutkan oleh kemenangan film besutan Nayato Fio Nuala di ajang FFI 2006. Film Eksskul meraih penghargaan sebagai film terbaik FFI 2006. kemenangan Eksskul ini langsung menuai badai protes dan mosi tidak percaya terhadap penjurian FFI 2006. Barangkali dalam sejarah FFI dan pemberian penghargaan sejenis lainnya di Indonesia, tidak ada yang dipertanyakan segencar ini. Mengapa publik film sedemikian tidak percayanya dengan kemenangan Eksskul?
Iseng-iseng saya akan memperbandingkannya dengan film bertema sejenis yang membawa sutradaranya meraih penghargaan di Cannes Festival 2003. Film itu adalah “ELEPHANT”, garapan sutradara Gus Van Sant. Kalau bisa dibilang, film tersebut keren abiss. Mengambil setting beberapa jam sebelum terjadinya pembantaian siswa di Colombine, Amerika. Dibanding film sejenis yang mengangkat tema tragedi di sekolahan, “Elephant” mampu menampilkan beberapa kelebihan. Pertama film ini menggunakan cara pengambilan gambar yang unik. Diambil dengan menggunakan sudut pandang beberapa siswa. Masing-masing adegan menggunakan long shot yang menampilkan adegan biasa di sekolah. Ada anak berdiskusi, olah raga, di perpustakaan, kantin, pacaran, dan lain-lain. Pokoknya ordinary live banget lah!
Masing-masing adegan tidak berhubungan secara langsung, hanya tersambung oleh muara adegan yang berakhir di peristiwa masacre itu. Unik dan mengejutkan.
Belum lagi film itu teramat minim menggunakan musik. Tapi ketegangan memuncak juga manakala, Alex dan seorang kawannya tiba-tiba datang ke sekolah dan membantai semua-teman-temannya. Satu lagi yang perlu dicatat, Van Sant tidak mempertontonkan secara langsung adegan kekerasan. Adegan penembakan hanya diperlihatkan dengan bunyi selongsong yang jatuh, atau adegan siswa yang lari tunggang langgang menghindari pembantai.
Dalam eksskul, realita konkrit itu malahan dibungkus dengan penciptaan suasana yang seakan-akan di manaaa... gitu (bukan di Indonesia, kayaknya). Malahan membuat kita tidak menyadari bahwa itu berdasar kisah nyata. Misalnya dalam hal penyambungan gambar. Setiap pergantian adegan disambung dengan semacam kilasan cahaya mirip kebanyakan film-film horor kita. Dibikin menegangkan lah gitu.
Dalam film Eksskul semua dialog pemainnya berteriak, sama dengan adegan-adegan sinetron kita. Mungkin dikiranya dengan berteriak-teriak adegan jadi menegangkan dan tambah seru. Khan penonton jadi capek, mass.. Sedangkan di film Elephant, tidak ada adegan berteriak, malahan mirip adegan dokuementer yang dibikin anak-anak sekolah biasa, tapi justru bisa bikin saya setelah menontonnya kepikiran terus. Tapi habis nonton eksskul, perasaan itu sama sekaili tidak ada, paling-paling hanya kepikir, wah itu khan cuman film.
Secara outfit, sosok Joshua yang digambarkan sebagai sosok korban yang dipecundangkan di sekolahnya disederhanakan dengan jamper yang tudungnya selalu terpasang di kepalanya. Disitu dua orang yang selalu beroutfit seperti itu, yaitu Joshua, si pelaku penyandera dan anaknya Kepala Polisi, yang mengaku merasa dipecundangkan juga di sekolahnya.
Salah satu dewan juri FFI mengatakan, kalau istimewanya Eksskul adalah karena mengungkap kesalahan orang tua dalam persoalan tragedi di sekolah. Saya malah tidak melihat ada orang tua yang salah dalam film itu. Justru yang ada adalah sebuah peristiwa tragis yang tidak ada dasarnya sama sekali.
Satu kejanggalan yang amat mengganggu dalam film itu adalah bagaimana mungkin ratusan polisi dengan senjata dan helikopter tidak mampu menyelesaikan penyanderaan satu siswa, yang saya perhatikan sama sekali tidak mengeluarkan ancaman? Ada dua lubang untuk mengakses penyanderaan itu, yaitu jendela dan lorong pintu menuju ruang BP. Tapi kenapa tidak satu pun dicoba untuk diterobos? Yang ada hanya eklpoitasi kefrustasian kepala Polisi yang tidak tahu harus melakukan apa, dan kesibukan orang-orang di halaman sekolah yang tidak jelas melakukan apa. Mereka hanya menatap jendela tertutup dan berteriak-teriak, saling menyalahkan, serta dialog-dialog mengambang yang berusaha membuat film tidak verbal.
Kesimpulan saya, dilihat dari berbagai kriteria, “Eksskul” itu hanya film kelas tiga bahkan untuk ukuran standar film Indonesia (sorry buat masyarakat film Indonesia). Mungkin bisa bagus kalau buat vidio klip musik, karena ‘over’ pamer teknik editing dan pencahayaan yang ‘over’ dramatis. Bahkan kualitasnya untuk orang awam seperti saya, jauh di bawah unggulan-unggulan lainnya, seperti Denias: Senandung di Atas Awan, Heart, Mendadak Dangdut maupun Ruang.
Wajarlah kalau masyarakat film kita protes keras. Di tengah tidak krediblenya lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta kita, kenapa lembaga budaya kita ikut-ikutan tidak meyakinkan. Satu kesalahan besar ini, tentu saja berimbas pada penghargaan-penghargaan lain yang sebenarnya cukup menjanjikan, seperti film dokumenter “Gerimis, Kenangan dari Sahabat Terlupakan”. Film ini secara puitis mampu mengingatkan kita betapa hubungan kita dahulu dengan Negara Soviet (Rusia) cukup dekat. Dan bagaimana beberapa orang di sana tetap menyimpan perasaan bersaudara itu dalam lubuk hatinya, sementara kita memutuskan tali silaturahmi dan melupakannya sama sekali.
Dan citra piala citra sungguh telah jatuh, bahkan ke dasar samudra, berdampingan dengan bangkai pesawat Adam Air…
Rain