SELAMAT MALAM

Ini adalah blog untuk kumpulan catatan-catatan saya. Tanggal yang tertera di atas teks bukanlah tanggal di mana catatan itu ditulis atau dipublikasikan, tetapi itu adalah waktu saya meng upload catatan tersebut. Banyak catatan yang sudah lama yang baru saya upload dalam blog yang sempat terbengkalai ini. Sebisa mungkin akan saya terakan tanggal dan dimana catatan tersebut dipublikasikan, semampu file saya menyediakan datanya.

Rain Rosidi

Wednesday, October 10, 2007

‘KETAKTERDEWASAKAN’ BOB SICK




If I knew exactly what I wanted to say, then I wouldn’t write the song.
Thom York

Sebagai narsis sejati, jelas aku mencintai pasanganku, bangsaku, rakyatku, sahabatku dan jalan kesenian yang aku pilih.
Puisi Bob Sick 2007

“Aku memang bisa apa saja, kecuali membina keluarga sakinah”
SMS Bob Sick kepada penulis


Pada 26 Mei 1971, lahir seorang anak laki-laki yang dinamai Bob Yudhita Agung. Tidak dinyana, beberapa puluh tahun kemudian, nama itu lebih dikenal dengan sebutan Bob Sick. Nama yang menggambarkan konsepsinya berkarya, tentang rasa sakit yang semakin membuatnya merasakan keberadaannya sebagai manusia.
Semenjak perkembangan peradaban, seni difungsikan sebagai propagator sekaligus sebagai kritik terhadap masyarakat dan kebudayaan. Frankfurt School cenderung mengulik hubungan tersebut. Madzhab ini secara konsisten menolak untuk “memperlakukan budaya sebagai sebuah kenyataan yang lepas dari masyarakat”. Kemudian mereka mencoba menginterpretasikan seni sabagai salah satu bahasa kode yang berproses mengambil tempat di masyarakat dengan diuraikan melalui analisa kritis. Seni merefleksikan kondisi masyarakat saat ini dan eksis dan seringkali menemukan persoalannya. Menjadi kepercayaan yang dominan pada Madzhab Frankfurt bahwa seni “bertindak sebagai upaya terakhir teriakan manusia terhadap masyarakat lain melampaui yang sudah ada”. “Seni adalah respon terhadap represi” dan, oleh sebab itu, seni yang “sesungguhnya” hanya dapat diproduksi dalam masyarakat yang terepresi. Dan elemen dari masyarakat umum, harapan yang dibagi untuk kemanusiaan yang potensial, diinformasikan oleh setiap aksi estetik. Max Horkheimer menulis bahwa “seni, semenjak otonom (dari gereja), telah menyediakan utopia yang diuapkan dari agama”. Kepercayaan ini bahwa fungsi penting dari seni adalah untuk menunjukkan pada yang lain, lebih ideal, masyarakat “yang mungkin juga membawa pada kesimpulan bahwa seni hanya dapat muncul pada konteks ketidakbebasan”.
Theodore Adorno salah satu teoretisi pentolan madzhab ini, berkhusuk pada gagasan otonomi artistik. Pencerahan dialektis Adorno adalah bertumpu pada pergerakan antara yang universal dan yang partikular. Ketika diaplikasikan pada teori seni maka dialektika ini termanifestasikan pada satu sisi sebagai Law of Genre (menghadirkan keuniversalitasan – ikatan kolektif) dan di sisi lain adalah spontanitas. Spontanitas menunjukkan partikularitas dan keterlepasan teoretik dalam dunia kemungkinan dan permainan manusia.
Dalam seni rupa, semangat bermain-main menjadi semacam pintu masuk yang lebar bagi tumbuhnya ‘yang partikular’ dalam seni. Raw art, salah satu manifestasi kecenderungan dalam seni yang kemudian memberi pengamatan berbeda terhadap karya-karya yang berada di luar pengamatan umum. Seniman Perancis Jean Dubuffet adalah salah satu seniman yang pertama kali mencetuskannya sebagai Art Brut. Baginya itu adalah bentuk termurni dari kreasi. Merunut Dubuffet; mungkin seniman seringkali tergagap untuk menyatakan apakah yang dibuatnya, tapi karya itu sendiri secara konstan telah bercerita. Pemberian tempat pada karya-karya yang muncul dari kegilaan, para visioner artist, atau dari para ‘outsider’ yang berada di garis terluar masyarakat atau sistem. Raw Art juga yang sering diartikan sebagai seni ‘yang tidak dimasak’, seni yang ‘tak terdewasakan’ oleh budaya.
Dalam konteks ‘tak terdewasakan’ secara budaya inilah kita bisa melihat seorang Bob Yudita Agung a.k.a Bob Sick berkiprah di jalur seni lukis. Seorang pelukis yang dikenal oleh semua masyarakat seni di Indonesia dengan penampilannya yang unik, dari rambut sampai ujung kaki. Penggila tatto dengan tubuh yang dipenuhi tatto koleksinya, hasil karya seniman tatto dari sekujur pulau Jawa dan Bali. ‘Tak terdewasakan secara budaya’ terlihat dari seluruh apa yang dilakukan dalam setiap aksi estetiknya. Lukisannya berlandaskan semangat bermain yang kental, dengan spontanitas gagasan yang cukup tinggi.
Bob bukan orang yang sebenarnya tak terpelajar dalam seni. Bukan pula sebenar ‘outsider artist’ yang bersembunyi atau terpencil dari jagad gemuruh seni rupa arus utama. Semenjak kecil, anak emas ini sudah terbiasa dengan dunia gambar menggambar, berikut seluruh dimensi artistiknya. Beberapa kali di masalalunya dia memenangi lomba lukis anak, yang menunjukkan seberapa jauh dunia artistiknya diterima oleh pengamatan umum. Bahkan di masa kuliahnya, dia juga memperoleh penghargaan yang cukup bergengsi dalam karya seni lukis terbaik. Dalam wawancara dengan saya, Bob menyatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah 70% sisi anak-anak, naluri bermainnya, baru selebihnya adalah pretensinya untuk berlaku bijak selayaknya orang dewasa. Bob lebih memilih untuk menciptakan karya-karya yang murni mengikuti naluri bermainnya. Salah satu teman karibnya sesama pelukis S. Teddy D. mengagumi ketakterputusan garis yang ditorehkannya dalam kanvas. Sebuah kepercayaan diri yang akut terhadap naluri bermain.
Raw Art menjadi salah satu aliran yang mempengaruhinya. Bob mengaku tertarik dengan raw art sebagai sebuah ‘counter attack’ terhadap keunggulan teknis serta keindahan dalam lukisan yang disepakati umum. Dengan berkarya yang seenaknya dia yakin akan bisa menolong teman-teman yang berkarya di luar kebiasaan karya seni yang terdidik dan terlembagakan. Bob tidak bisa dilepaskan dari lingkungannya dengan pergaulan sosial bersama anak-anak muda yang berkreasi, berbuat salah, nakal, dan mencoba segala hal. Di sekelilingnya Bob bermain musik dengan anak-anak muda, menjadi manajer band, menyelenggarakan even musik underground dan memberi semangat kepada anak-anak muda itu untuk menjadi diri sendiri. Baginya tidak ada karya seni yang jelek.
Dalam konteks sosial dimana industri karya seni mendominasi, Bob Yudhita Agung menyajikan sebuah budaya dan kesadaran sosial yang tak terduga. Dia memproduksi karya seni yang unik dalam dunia modern, baik dalam sisi teknis maupun filosofinya. Selain lukisan-lukisan dengan semangat bermain yang tinggi, Bob juga menggunakan media non ‘seni’ untuk lebih melibatkan isu-isu sosial, sebagai bagian dari budaya pinggiran. Diproduksinya benda-benda non seni seperti gitar, bas, objek, instalasi, dan karya patung sebagai sarana bermain-main yang melibatkan komunitas penggunanya.
Karya seni Bob adalah misal yang bagus untuk karya seni sebagai wujud yang paling pribadi dari manusia. Dunia ‘tak terdewasakannya’ menunjukkan keberadaannya yang amat partikular dengan spontanitas yang tinggi. Intuisi, pengalaman untuk sakit, bermain-main dengan tubuh, adalah bagian yang paling pribadi dari diri Bob; rasa dalam arti fisik maupun psikis. Projek pribadi atas dirinya muncul pula dalam dataran kanvas lukisan yang tak jauh-jauh merupakan catatan pengalaman psikologisnya. Untuk itu perlu memberikan perhatian lebih pada tata cara Bob dalam melukis.
Bob kerapkali disandingkan dengan dua nama pelukis Indonesia lain yang sekaligus teman dekatnya, yaitu Ugo Untoro dan S. Teddy D. Mereka dianggap mempunyai kesamaan dalam gaya hidup berkesenian dan konsep seni secara umum. Tetapi berbeda dengan Teddy pun Ugo, yang menggunakan gramatika visual seefektif mungkin untuk menampilkan sisi puitik (perhatikan lukisan Ugo atau Teddy, yang kebanyakan menampilkan ruang yang kosong dengan goresan efektif namun penuh emosi), Bob Sick lebih berkecenderungan untuk menampilkan sisi bermainnya yang kental, dengan garis-garis tegas, meliuk-liuk, dan kadang memenuhi bidang kanvas. Garis pada Bob mempunyai porsi yang sangat penting. Kebanyakan karyanya menggunakan outline warna gelap yang tegas. Garis lengkung-lengkung tak putus-putus mirip sulur-sulur tetumbuhan. Sapuan kuas besar yang menyisakan lelehan cat basah, bagai sapuan jagoan graffiti di lorong-lorong jalanan. Terkadang lukisannya amat ramai, tak ada sisa ruang kosong, semua diisi penuh dengan ornamen-ornamen yang tak tentu rimba asalnya. Tetapi pada lukisan lain, terkadang juga dibiarkan sunyi.
Beberapa lukisan diberi teks yang juga digoreskan dengan cara mengindah-indahkan teks mirip para ahli kaligrafi. Bob seringkali menuliskan statemennya dalam lukisan, baik pusi, komentar singkat, teks nama, judul dan tanggal lahirnya. Bob menggunakan kata-kata secara lepas, tanpa beban gamatika umum, dari bahasa Indonesia, Inggris, atau pun bahasa-bahasa lainnya.
Tema-tema lukisannya berkisar dari reaksi yang muncul dari dunia psikologisnya. Mulai dari tema tentang malaikat dan setan, tuhan, sakit hati, teman-temannya dan berbagai hal yang bisa dipikirkannya. Mirip dengan kata-kata yang diguyurkannya dalam kanvas, sosok-sosok manusia, makhluk aneh, objek-objek dan tumbuh-tumbuhan dalam kanvasnya seolah-olah didatangkannya begitu saja, digabung-gabungkan dengan tanpa mengikuti logika umum.
Sebuah lukisannya berjudul Statement (80 x 90 cm, 2007) menunjukkan figur manusia dengan bentuk yang janggal, dengan lidah panjang melengkung-lengkung seperti api, rambut mirip sulur, dan badan penuh dengan ornamen. Dengan menggunakan warna yang nyaris tanpa harmoni, dari warna garis yang hitam, warna merah sebagai latar, dan warna kulit yang tua kecoklatan dan beberapa garis dengan warna biru. Di samping sosok figur yang mencerminkan diri Bob tersebut tergeletak seekor ikan. Dalam lukisan ini Bob mencantumkan statemen yang berbunyi:
bob sick central
my name are
komunist
eksistensialis
muhamadent
punker
and
tatto
oism
born 26. 05. 1971
Lukisan ini menggambarkan spirit bermain-main yang tetap ada dalam mempersoalkan hal-hal yang amat serius. Kondisi bermain-main itu nampak dari penggunaan istilah yang serampangan dipakai. Ketidaktepatan penulisan kata dan komparasi yang sekenanya. Hal tersebutlah yang semakin menampakkan diri Bob sebagai seniman yang memuja peronalitas. Segala hal adalah sejauh yang dipahaminya, tidak ada kerumitan dibalik hidup yang paling kompleks sekalipun. Bahkan dalam lukisan lain, persoalan yang niscaya, semacam kematian disikapi dengan celotehan ringan: “kalah pada kehidupan, tidur panjang dalam damai abadi” (lukisan Reliji, 69 x 90 cm, 1993). Atau dalam kata-kata seperti:
setelah engkau pergi
sedih hatiku
bagaimanapun hi-
dup ini harus
di tuntaskan
sampai
nafas
terak-
hir
2007
Bob Sick Yudhita (lukisan ‘Setelah Kau Pergi’, 51 x 51 cm, 2007)

Lihatlah, dalam kepergian, perasaan sedih, bisa ‘dilagukan’ dengan begitu ringan. Hal yang sama, dilakoninya ketika dia juga secara langsung mengalami kecelakaan yang membuatnya koma sekian lama. Seolah-olah tragedi tubuh, adalah semacam permainan pula, seperti seluruh konsepsi keseniannya. Rasa sakit tubuh yang ditatto, nyeri yang konstan setelah kecelakaan, atau perasaan hancur secara psikologis adalah menu bermain yang akan muncul dalam karya-karya yang riang dan penuh dengan garis-garis tegas. Rasa sakit baginya adalah berkah, bahkan ketika dia harus menkonsumsi obat ‘paint killer’ yang justru dianggapnya sebagai jalan legal untuk menikmati obat.
Dalam konteks pameran ini, Bob menghadirkan seninya sebagai ekspresi budaya yang lain. Bukan persoalan besar, seperti politik atau sebangsanya, tetapi pameran ini diinspirasi oleh kepergian sahabatnya, mentornya, dan penyemangatnya dalam berkarya, Omi Intan Naomi. Omi, seorang penulis muda yang terlalu cepat pergi, memberi kontribusi yang cukup besar dalam jalan kesenian Bob Sick. Dalam pengkuannya via sms: “Omi adalah tempat saya bertanya dan berpendapat. Dia mengenalkan saya dengan buku-buku, internet dan banyak hal... dari semula saya tidak mengerti menjadi mengerti” (5 Februari 2007, pukul 18.58). Sebagai bentuk penghormatannya pada Omi, diabadikannya dalam bentuk tatto di tubuhnya. Sebuah cara personal Bob untuk menghargai kawan sekaligus gurunya itu.
(Rain Rosidi)