A world that can be explained even with bad reasons is a familiar world. But, on the other hand, in a universe suddenly divested of illusions and lights, man feels an alien, a stranger. His exile is without remedy since he is deprived of the memory of a lost home or the hope of a promised land. This divorce between man and his life, the actor and his setting, is properly the feeling of absurdity.
Albert Camus
Pada kehidupan kontemporer, dimana dunia seni secara keseluruhan telah ter-‘administrasi’ dan ter-domestifikasi, tetap dibutuhkan seni yang berpotensi sebagai ‘social explosiveness’. Dunia modern yang selalu menertibkan setiap pemberontakan dalam disiplin pasar tetap melahirkan perkembangan kreativitas bentuk-bentuk seni yang menyisakan paradoks. Di satu sisi, keberadaan seni yang ‘tertertibkan’ itu dibutuhkan oleh pelaku seni tetapi di sisi lain, mereka juga membutuhkan situasi cair yang tidak membatasi medan kreatifnya. Galeri-galeri yang berperan besar dalam menertibkan bentuk-bentuk karya seni itu, juga pada akhirnya memberikan ruang bagi munculnya jejak-jejak dialog ketegangan antara ketertiban dunia seni modern dengan kreativitas seni dan situasi sosialnya yang ‘tak mapan’.
Melalui bentuk ‘mural’ dan grafiti misalnya, upaya menertibkan seni itu mengalami pembangkangannya. Karya seni ini lahir dari platform yang kuat untuk mereklaim ruang public dan meraih public yang lebih luas. Para aktivis juga menggunakan seni di ruang publik ini untuk melakukan kerja praksisnya. Pada dasarnya, fenomena street art yang secara massif ditandai dengan hadirnya post-grafiti dan post-mural, menjadi kesadaran beberapa seniman untuk melakukan aktualisasi kerja seninya di jalanan. Mereka dengan sengaja melakukan kerja seni yang sangat demokratis, dinikmati semua orang dan sukar untuk diboyong sebagai property pribadi para kolektor. Banyak kerja pribadi atau kelompok yang dilakukan dengan kesadaran yang berbeda-beda di ruang public. Sebagian dengan kesadaran sebagai counter atas dominasi para pemegang kebijakan atas ruang public, baik dari pemerintahan, maupun korporasi-korporasi besar. Sebagian yang lain merupakan kerja particular sebagai aktualisasi diri di jalanan.
Spirit yang demikian itu juga kemudian memasuki ruang-ruang galeri. Galeri sebagai bagian dari medan sosial seni, juga berperan memelihara dinamika hubungan antara spirit kreativitas seni yang memuja ketidakmapanan, dengan pasar seni yang mengharapkan ketertiban laku seni dan administrasinya. Tidaklah mengherankan kemudian, kalau beberapa galeri secara sadar membangun dialog itu dengan menampilkan jejak-jejak proses kreatif dan eksperimentasi seniman dalam ruang galeri, termasuk mural dan graffiti. Karya-karya itu dihadirkan bukan hanya sebagai pelengkap kehadiran karya lain yang lebih ‘tertib’, tetapi juga sebagai bagian dari laku kerja si seniman yang menjadi bagian integral dari sebuah kerja seni.
Dari sinilah ‘letupan-letupan sosial’ dari sebuah laku seni masih dapat ditengarai jejaknya. Untuk melihat bentuk-bentuk seni yang dihadirkan para seniman ini di ruang galeri, tidaklah cukup melihatnya dari bentuk-bentuk hasil akhir yang dipajang di ruangan galeri. Mereka membawa serombongan besar ‘teks-teks’ lain yang perlu dibaca sebagai bagian dari kerja seni mereka. Lukisan-lukisan dan mural Farhan Siki di ruang galeri ini, adalah sebagian kecil dari kerja yang dilakukannya di jalanan. Begitu juga dengan lukisan karya RM Soni Irawan, yang menjadi sebagian dari jejak kreatifnya di dalam mengeksplorasi berbagai medium seni, termasuk musik.
Karya-karya semacam itu, pernah dipamerkan secara bersama-sama oleh puluhan seniman Jogjakarta dalam sebuah pameran bertajuk 'Utopia Negativa' di Magelang. Di tahun 2004, sebenarnya ide membuat pameran 'Utopia Negativa' tercetuskan. Waktu itu saya mengajak Nano Warsono bertemu dengan RM Sonny Irawan, Uji Handoko, dan Krisna Widiathama. Kami memperbincangkan rencana untuk membawa karya-karya mereka ke sebuah ruang galeri. Ide awal waktu itu adalah bagaimana menampilkan karya-karya dengan kecenderungan ‘chaotic’ tapi ‘ekstaktif’ namun juga mampu merefleksikan kehidupan kontemporer dalam sebuah ruang pameran. Saya sudah menawarkan foto-foto karya mereka ke sebuah galeri ternama di Jakarta, tetapi sang empunya merasa belum tertarik dengan karya-karya itu. Untuk itu saya menunda ide memamerkan karya-karya dengan kecenderungan itu secara bersama-sama. Barulah pada tahun 2008, pameran secara bersama-sama perupa dengan watak yang sama dapat kami selenggarakan. Bahkan di dua galeri sekaligus di Jogja dan Magelang. Dari sinilah kemudian pameran-pameran bersama digagas kembali untuk menampilkan lebih jauh watak dari kecenderungan ini. Tulisan ini diperuntukan sebatas salah satu cara untuk meninjau kekaryaan dua seniman ini. Wataknya hanyalah sebagai pendamping pameran dan bukan sebuah catatan kuratorial.
JALANAN DAN KEBISINGAN
Dua orang seniman ini bisa disebut seniman yang tidak biasa anda temui di art scene Indonesia. RM Soni Irawan mengerjakan bentuk-bentuk visual yang komikal dengan figur-figur ‘aneh’ yang terkait dengan aktivitas bermusiknya, serta Farhan Siki yang biasanya mengerjakan seni jalanan (street art). Watak seni yang demikian itulah yang mewarnai karya-karya mereka.
Kita bisa memulai sebuah ilustrasi untuk menilik karya-karyanya dengan sebuah pementasan Seek Six Sick. Di atas panggung dua orang bermain gitar dengan cara yang tidak wajar. Bukan hanya lengkingan melodi dan rithm gitar yang terdengar, tetapi juga derau dan kebisingan yang ditimbulkan oleh alat-alat musik itu. Dua gitar itu saling memantulkan bunyi-bunyian yang kadang menyakitkan telinga. Sementara sang vokalis meneriakkan nada-nada yang janggal dan tak nyaman. Tapi penonton menikmati ‘kesakitan’ performa band yang menyebut aliran mereka sebagai ‘asian noise rock’ ini. Dari sini kita akan menemukan korelasi artistik RM Soni Irawan antara karya seni dengan ekspresi panggungnya.
RM Soni Irawan bukan nama baru dalam dunia seni rupa tanah air. Dengan sebuah karya grafisnya yang berjudul “Bangun dari Mimpi Buruk yang Indah”, yang menggabungkan teknik etsa dan mono-print yang rapi, RM Soni Irawan masuk lima besar kompetisi seni rupa nasional tahun 2001. Karya itu menggambarkan seraut wajah (topeng) menyeramkan yang ditempeli sebatang pistol di dahinya. Di belakangnya sebuah motif ornament yang biasa, sebagai latar belakang. Mendapatkan hadiah sejumlah uang dari panitia kompetisi, Sonny lantas menggarap sebuah kompilasi album independent berdasarkan karya grafis itu, yang melibatkan beberapa grup band independent. Album itu mungkin menjadi album kompilasi musik sebagai soundtrack karya seni grafis pertama yang dibuat di tanah air.
Dalam seni rupa, selain kompetisi tersebut, nama RM Sonny Irawan juga sempat diundang sebagai peserta Jogjakarta Biennal yang ketujuh (2003). Dalam pameran ini Soni menyertakan serangkaian karya cetaknya yang menampilkan potret dirinya pada bermacam benda, seperti t-shirt, poster, dan sebagainya sebagai gagasan untuk ‘distibute yourself’. Karya RM Soni Irawan yang menjual hasil rekaman musik dari kelompok Seek Six Sick serta menjual aksesori lainnya yang biasa dipasarkan dalam distro, yaitu toko yang mendistribusikan aksesori, pakaian, dan merchandise lokal pada konsumen remaja dan komunitas underground.
Di Jogjakarta, gerakan seni urban dengan kesadaran yang lebih besar antara seni dan persoalan kota mulai digulirkan dalam projek ‘Mural Sama-Sama’ yang digagas Apotik Komik (2002). Projek ini disadari memberi pengaruh yang besar terhadap gerakan seni di Jogjakarta. Salah satu yang utama adalah dimulainya secara lebih intensif kesadaran perupa untuk melihat aspek ruang publik dan ketegangannya dalam berkarya seni rupa. Pengaruh itu juga terdapat pada jenis-jenis karya lain, di luar mural dan graffiti. Banyak perupa muda setelah itu, yang mendapat inspirasi dari gerakan-gerakan street art dan budaya urban dalam karya mereka. Farhan Siki, salah satu yang menonjol di antara mereka, bahkan sebelumnya telah pula terlibat sebagai aktivis dalam gerakan-gerakan sosial perkotaan. Perupa kelahiran Lamongan ini termasuk pelaku street art yang intens dengan persoalan-persoalan masyarakat urban yang dijalaninya pula sebagai seorang aktivis.
Dua seniman ini mengomentari masalah kontemporer bukan dalam bentuk protest. Karya mereka menubuhkan dalam dirinya sendiri, semacam presentasi atas persoalan kontemporer masyarakat saat ini. Dari medium yang dipakai, maupun watak yang muncul dari karya-karya mereka nampak tema-tema besar kontemporer tersirat; seperti alienasi manusia atas berbagai hal; kehilangan keyakinan dan kepercayaan, sendirian, dan ketakbersahabatan. Dari jalanan yang menyimpan segudang persoalan urban, dan dari kebisingan yang lahir dari kemarahan pribadi, memunculkan gagasan-gagasan tentang manusia dengan berbagai pengabaiannya atas keyakinan yang berkembang, teknologi, rasionalitas, dan lingkungan. Dalam karya mereka, jejak optimisme terasa absurd di peristiwa dunia modern abad ini.
Dalam visualisasi, masing-masing karya mereka menunjukkan pengaruh yang kuat dari latar belakang yang masing-masing mereka geluti. Farhan Siki menampilkan sekumpulan huruf-huruf tak terbaca dan lelehan-lelehan cat yang liar senarai dengan kemampuan menggambarnya di jalanan. Sangat kentara, bagaimana spirit street art itu dalam cara dia memperlakukan kanvas. Dalam karya Soni, figur-figur dan goresan liar yang diambilnya dari bentuk-bentuk komikal nan bebas memenuhi bidang kanvasnya. Pemakaian warna-warna primer seolah-olah hendak memberikan sebuah ironi, warna-warna yang terlihat cerah dan menyenangkan itu menyimpan sesuatu yang ‘chaotic’, riuh dan bising. Bagi Soni, melukis sebagaimana dalam bermain musik, adalah sebuah pesta. Maka, setelah melihat karya seni rupa ini, anda akan melihat warna-warna kuning, biru, merah, hijau, dan warna-warna cerah lainnya dengan cara yang sangat berbeda.
Rain Rosidi